https://drive.google.com/file/d/0B3gYRyYH6FdjTmZnWHNVNDJqY1k/view
Kelas III: Perkembangbiakan dan Daur Hidup Hewan (Tema 1)
Rabu, 17 Mei 2017
REVIEW JURNAL
Peringkas / NIM
|
Melsaria Permatasari / 151134052
|
Judul Jurnal
|
Metode Stimulasi dan Perkembangan Emosi
Anak
Usia Dini
|
Penulis
|
Wisjnu Martani
|
Identitas Jurnal
|
Jurnal
Psikologi Volume 39 Nomor 1
|
Tahun Terbit
|
Juni 2012
|
Rumusan Masalah
|
1.
Bagaimana pemahaman guru tentang
stimulasi
?
2.
Bagaimana pengertian guru tentang
perkembangan
emosi anak usia dini?
3.
Apa yang dilakukan untuk menstimulasi
perkembangan emosi anak?
|
Hipotesis
|
Guru telah memahami stimulasi dan
mampu meningkatkan kemampuan berkomunikasi
pada anak usia dini, serta dapat mengurangi
terjadinya problema perkembangan pada anak. Namun, guru tidak memahami
perkembangan emosi anak karena telah mengabaikan tentang keunikan anak dan
guru lebih mudah memberikan pendidikan yang sama dan adil menurut konsep guru,
dengan kata lain guru tidak memperhatikan kebutuhan anak. Cara yang dilakukan
untuk menstimulasi perkembangan emosi anak yaitu melalui Pendidikan anak usia
dini. Merupakan yang pada dasarnya adalah sebagai upaya-upaya intervensi yaitu
menciptakan lingkungan sekitar anak usia dini agar mampu menstimulasi seluruh
aspek perkembangan anak.
|
Metode Penelitian
|
Pada
penelitian ini sejumlah 30 orang guru TK menjadi subjek penelitian. Guru yang
menjadi subjek penelitian
berjenis
kelamin perempuan, dengan latar belakang pendidikan yang bervariasi. Subjek penelitian
adalah guru dari tiga TK yang berada di Kota Yogyakarta, mereka semua mengampu
kelas, yang dalam setiap kelas
terdiri
12 anak sampai dengan 25 anak.
Cara
pengumpulan data
Data
dikumpulkan melalui:
1.
Wawancara dilakukan ntuk memperoleh informasi tentang pemahaman guru terhadap
cara stimulasi dan
perkembangan
emosi anak. Wawancara dilakukan secara individual terhadap guru.
2.
Observasi dilakukan untuk memperoleh data tentang perilaku dan kegiatan subjek
dalam proses pembelajaran
dan
pemberian stimulasi yang dilakukan di kelas. Observasi data ini digunakan juga
untuk checking terhadap hasil wawancara dan self report.
3.
Self report. Self report dilakukan dengan serangkaian pertanyaan yang
bersifat terbuka, sehingga diperoleh informasi yang original berasal dari
subjek
penelitian.
Panduan wawancara, observasi dan self report disusun mengacu pada Developmental
Appropriateness Practices dari NAEYC atau The National Association
for the Education of Young Childre (Puckett & Diffily 2004 dan
Santrock, 2006).
Developmental
Appropriateness Practices
(DAP)
merupakan ”green book” yang disusun untuk membantu pihak yang
menyelenggarakan program bagi anak usia dini, supaya program yang tersusun
sesuai
dengan
kebutuhan anak. Ada tiga komponen yaitu penyediaan lingkungan yang berkait
dengan pemilihan materi dan peralatan dengan mempertimbangkan
tahap
perkembangan emosi anak atau komponen kurikulum, strategi pendampingan untuk
perkembangan emosi anak usia dini atau komponen strategi pembelajaran, dan
perencanaan untuk menyediakaan
kegiatan
yang bervariasi sehingga anak mempunyai pengalaman atau komponen
arahan/pengelolaam emosi.
|
Hasil
|
Guru
mengatakan paham tentang stimulasi dan pemberian stimulasi di sekolah
disampaikan melalui persiapan untuk kegiatan belajar mengajar pada hari itu
dan mempersiapan alat peraga yang akan digunakan pada hari itu serta
mempersiapkan evaluasi untuk
anak usia dini. Dalam mengenali
perkembangan emosi anak guru cukup mampu mengenali masing-masing anak yang berada
di kelasnya, dan guru membutuhkan waktu sekitar 2-4 minggu untuk mengenal
masing-masing murid, dan melalui amatan mereka mengenali kondisi murid. Namun
mereka lebih pada kemampuan kognitif saja, karena data dilapangan menunjukkan
bahwa anak dikenali sebagai anak yang mempunyai masalah apabila anak tidak
menunjukkan perilaku ataupun kinerja sebagaimana anak yang lain. Subjek
penelitian menyatakan bahwa cara yang dipakai guru untuk menstimulasi perkembangan
emosi anak tidak ada yang spesifik, dan mereka menggunakan cara sebagaimana
yang telah ditetapkan dalam panduan. Mereka menyiapkan kegiatan menggambar
sebagai
sarana
untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan anak. Dari penelitian diketahui
pula bahwa guru banyak
menggunakan
benda dan permainan yang berupa balok-balok, buku cerita, kaset/CD untuk
bercerita dan
mendengarkan
lagu dan alasan yang dikemukakan oleh guru, karena media tersebut dapat untuk
meningkatkan
kemampuan
bahasa dan keterampilan anak dalam membaca, yang notabene merupakan bentuk
dari prestasi akademis atau lebih cenderung mengasah kemampuan kognitif saja.
|
Kesimpulan
|
Berdasarkan
temuan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemahaman guru terhadap
cara memberikan stimulasi untuk perkembangan emosi anak usia dini masih belum
memadai, karena guru lebih
menekankan
pada pentingnya kemampuan kognisi pada anak, dan cenderung mengabaikan
perkembangan emosi pada anak, sehingga sangat memungkinkan terjadinya problem
perkembangan pada anak. Namun hal yang harus diperhatikan adalah kondisi ini
terkait dengan nilai dan budaya yang ada disekitarnya. Karena faktor nilai
dan budaya merupakan hal yang ikut menentukan orientasi pendidikan untuk anak
usia, dan secara mempengaruhi penentuan standar perilaku dan
cara mendidik anak.
|
Hal-hal yang dapat dipelajari
dari jurnal perlu sebagai calon guru
|
Sebagai guru kita harus
benar-benar memahami mengenai stimulasi dan jangan asal-asalan dalam
pemberian stimulasi kepada anak usia dini. Selain itu, guru juga harus
memperhatikan perkembangan emosi anak memalui keunikan yang dimiliki oleh
anak-anak dan jangan menganggap bahwa anak yang menunjukkan emosi yang
berbeda dengan anak yang lain di kelas maka anak tersebut dinilai sebagai
anak yang sedang mengalami masalah. Selain itu, guru juga harus memberikan
kesempatan kepada anak untuk mengkomunikasikan keinginannya dalam proses
pembelajaran. Perlu diketahui bahwa dalam pelaksanaan pendidikan prasekolah
untuk anak usia dini guru hendaknya lebih menekankan pada perkembangan sosial
dan emosi, bukan hanya menekankan pada penyiapan keterampilan akademik dasar.
Guru juga harus memperhatikan media pembelajaran yang akan dipakai dalam
proses pembelajaran, sebaiknya media pembelajaran yang dipakai ialah media
yang konkret dan dapat membantu perkembangan sosial emosional dan
kognitifnya. misalnya menggunakan media permainan edukatif seperti puzzle
yang sederhana, gambarnya belum terlalu rumit dan cocok untuk anak
prasekolah. Dunia anak prasekolah (2-8 tahun) menurut Piaget mempunyai
ciri-ciri pokok perkembangan pada penggunaan simbol atau bahasa tanda. Oleh
karena itu, permainan edukatif adalah
salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengembangkan aspek kognitif,
sosial, emosi dan perkembangan fisik pada anak prasekolah.
|
Daftar Pustaka:
Martani,Wisjnu.(2012).Metode
Stimulasi dan Perkembangan Emosi Anak Usia Dini.Jurnal Psikologi,Volume
39 Nomor 1,112 -120. Tersedia: https://jurnal.ugm.ac.id/jpsi/article/view
/6970/5431 (11
Oktober 2016).
Makalah Presentasi
Mata Kuliah Filsafat Moral
“Prinsip-Prinsip Moral dalam Masyarakat”
Oleh:
Melsaria Permatasari (151134052)
Program Studi Pendidikan
Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan IlmuPendidikan
Universitas Sanata
Dharma
Yogyakarta
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Moral
dalam istilah dapat dipahami sebagai prinsip hidup yang berkenaan dengan benar
dan salah, baik dan buruk; kemampuan untuk memahami perbedaan benar dan salah;
dan ajaran atau gambaran tentang tingkah laku yang baik. Untuk mengukur
tindakan manusia secara moral, tolak ukurnya atau pedomannya adalah
prinsip-prinsip moral dasar.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa saja yang menjadi prinsip-prinsip moral
dalam masyarakat?
2.
Prinsip-prinsip moral apa saja yang tidak
memadai?
3.
Prinsip-prinsip moral apa saja yang memadai?
C. Tujuan Penulisan
1.
Menyebutkan dan menjelaskan prinsip-prinsip
moral dalam masyarakat.
2.
Menyebutkan dan menjelaskan prinsip-prinsip
moral yang tidak memadai.
3.
Menyebutkan dan menjelaskan prinsip-prinsip
moral yang memadai.
D. Manfaat penulisan
Makalah
ini dibuat supaya dapat memberi penjelasan lebih lanjut mengenai
prinsip-prinsip moral dalam masyarakat. Supaya pembaca lebih mengetahui tentang
prinsip-prinsip moral dalam masyarakat yang tidak memadai dan memadai.
Diharapkan dari pembuatan makalah ini bisa dijadikan sumber pembelajaran bagi pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
PRINSIP-PRINSIP MORAL DALAM
MASYARAKAT
Untuk
mengukur tindakan manusia secara moral, tolak ukurnya atau pedomannya adalah
prinsip-prinsip moral dasar. Adapun prinsip-prinsip moral yang tidak memadai
dan prinsip-prinsip moral yang memadai.
A. prinsip-prinsip dari moral yang tidak memadai,
antara lain :
1.
Prinsip konformitas sosial “ sesuaikan
dirimu dengan lingkunganmu”
Prinsip
ini menggariskan agar orang bertindak sesuai dengan apa yang biasa dilakukan
oleh orang-orang di lingkungannya. Misalnya: jika ada kebiasaan gotong-royong
dan tolong-menolong, ikutilah bergotong-royong dan tolong-menolong. Jika ada
kebiasaan berjudi, maka ikutilah bermain agar tidak dikucilkan dan jangan
mempermasalahkan-nya, karena hal itu sudah menjadi kebiasaan dalam linggungan
tersebut.
Dari
contoh-contoh di atas atas tambak bahwa tidak semua hal yang telah biasa dan
telah diterima oleh masyarakat meupakan hal yang baik. Sehingga muncul prinsip
“ hal yang sudah biasa (biarpun jelek) harus diikuti dan hal yang belum biasa
(biarpun baik) harus ditolak. Prinsip dasar seperti ini kiranya tidak memadai
dan perlu ditolak, karena membenarkan tindakan yang buruk atas dasar kebiasaan
dan menolak tindakan yang baik atas dasar belum biasa. Prinsip seperti itu
menjadikan orang tidak kritis dan takut untuk melawan arus, walaupun ia berada
dipihak yang baik dan benar. Prinsip seperti itu juga dapat menjadikan pribadi
yang “pembeo”,sekedar ikut arus massa,
tidak menjadi pribadi yang otonom (mandiri).
2. Prinsip ketaatan pada suara hati
“ikutilah selalu suara hatimu”
Prinsip
ini menegaskan agar orang selalu mendasarkan tindakannya pada suara hati atau
hati nuraninya. Secara teoritis prinsip ini tampak mengandung kebenaran, karena
setiap orang memang selayaknya bertindak sesuai dengan apa yang menurut
kesadaran nuraninya diyakini baik. Namun kesadaran nurani seseorang dapat
dikacaukan oleh macam-macam pengaruh, sehingga ia dapat keliru dan melihat
hal-hal yang jahat menjadi baik. Dengan begitu, walaupun pendapat orang lain
benar, secara moral belum mewajibkan kita untuk mengikutinya jika kesadaran
kita belum menerimanya sebagai sesuatu yang memang baik dan pantas kita
laksanakan. Jadi prinsip ini mengandung kelemahan, yaitu tidak adanya
kepastian/jaminan bahwa suara hati tersebut mengarah pada kebaikan/kebenaran.
Jika dapat dijamin bahwa kesadaran nurani seseorang selalu menyuarakan sesuatu
yang meyakinkan baik, kiranya prinsip tersebut layak untuk kita terima.hati
nurani seseorang tidak selalu pasti, tidak selau jelas, dan tidak selalu tulen
menunjukkan kebaikan yang sesungguhnya, dapat ragu-ragu, dapat kabur,dapat
picik bahkan dapat salah. Oleh karena itu, jika kita hanya mendasarkan tindakan
kita pada suara hati, tidak akan terjamin bahwa sampai pada kebaikan yang sebenarnya.
Suara
hati bukanlah “suara Tuhan” yang selalu benar dan bukan pula suara yang tanpa
cela, walaupun kita yakin sumbernya dari Tuhan. Suara hati muncul dari wawasan
kesadaran moral seseorang, maka sifatnya amatlah manusiawi artinya dapat
dipengaruhi oleh kondisi-kondisi fisik, jadi hati nurani jangan cepat kita
ikuti dan harus kita pertimbangkan terlebih dahulu.
3. Prinsip mengikuti superego “milikilah
rasa malu dan rasa salah”
Dalam
teori psikoanalisa Sigmund Freud, “superego” dipahami sebagai perintah-perintah
dan larangan-larangan yang berasal dari lingkungan (orang tua, guru, pendidik,
dll), yang telah terbatinkan atau terekam dalam batin, yang pada situasi yang
sama secara bawah sadar akan muncul kembali dalam batin kita. Misalnya: jika
pada masa kecil, seseorang banyak diberi larangan “jangan pernah berbohong!”
oleh orang tuanya, maka larangan tersebut akan terekam dalam bawah sadar
menjadi bagian dari superego si anak, sehingga dikemudian hari, ketika ia
hendak “berbohong”, secara spontan/bawah sadar superego dalam batinnya
memperingatkan/menegur “jangan pernah berbohong”. Tetapi kesadaran anak mungkin
saja justru menghendaki untuk “berbohong”, karena ada alasan-alasan tertentu
yang menurut dia baik. Jadi, teguran superego bukanlah datang dari kesadaran
kita sendiri. Teguran supersego semata-semata mengulang apa yang pernah
dikatakan orang-orang di sekitar kita kepada kita, tanpa kita pahami alasannya.
Jika seseorang melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan kehendak
lingkungan, maka superego secara spontan akan menegur dan mempersalahkan kita,
lalu dalam batin kita akan muncul rasa salah dan atau rasa malu.
Dengan demikian prinsip di atassama halnya
dengan mengatakan bahwa “kita harus mengikuti teguran bawah sadar kita yang
berasal dari superego”. Secara konkret teguran tersebut kita rasakan dengan
adanya rasa malu atau rasa salah yang muncul secara spontan. Orang yang terbina
menjadi orang yang cukup taat pada lingkungannya, akan taat pada superegonya
pula, sehingga mudah merasa salah atau malu.
Prinsip
di atas cukup banyak dianut oleh masyarakat yang masih bersifat kolektif
(masyarakat paguyuban, seperti di pedesaan), sehingga perilaku masyarakatnya dikondisikan
dengan “rasa malu” dan “rasa salah”. Superego masyarakat di pedesaan juga dapat
secara mekanis/otomatis berfungsi menjadi pengawas atau penegur di dalam batin
manakala hendak atau telah berbuat sesuatu yang melanggar perintah atau
larangan dalam kelompok.
Dalam
masyarakat yang telah maju (modern), sistem pendidikan nilai yang seperti itu
telah banyak ditinggalkan. Dengan demikian, dalam diri anak sekarang tidak
terbentuk superego yang cukup kuat. Akibatnya, rasa salah dan rasa malu tidak
merupakan unsur yang dapat muncul secara otomatis secara bawah sadar dalam
batin si anak, melainkan hanya muncul jika si anak memang menyadari bahwa
dirinya akan atau telah berbuat salah.
4. Prinsip ketaatan pada ideology “
ikutilah ajaran-ajaran ideologi Negara/kelompok”
Prinsip
ini menggariskan agar kita selalu mendasarkan tindakan kita pada ideologi
negara kita. Dengan kata lain prinsip ini mengatakan agar kita selalu
mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi negara kita. Yang
dimaksud “ideologi” adalah nilai-nilai dasar yang dijunjung tinggi dan dibela
oleh sebuah kelompok, karena dianggap membantu mencapai kehidupan yang mereka
cita-citakan.
Prinsip
seperti ini memang baik sejauh dapat dijamin bahwa nilai-nilai dari ideologi
itu betul-betul memuat kebaikan atau kebenaran dalam teori maupun praktiknya.
Tidak jarang terjadi, nilai-nilai ideologi yang pada dasarnya secara teoritis
baik, dalam praktiknya dipersempit dan dimutlakkan, sehingga menjadi tidak
baik. Para penganut ideologi tertentu juga sering memutlakkan nilai tertentu,
sehingga menolak nilai lainnya yang sebetulnya baik.
Di
samping itu, tidak jarang terjadi bahwa ideologi dipakai sebagai alat politik
untuk menyelesaikan kepentingan pihak-pihak yang berkuasa. Yang dikatakan dapat
saja yang bagus-bagus, tetapi di balik itu tersembunyi maksud-maksud untuk
mencari keuntungan bagi kedudukan. Memang idiologi adalah alat untuk mencapai
tujuan kelompok dan bukan merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Sebagai alat,
ideologi dapat saja diganti atau diubah jika memang tidak lagi membantu
pencapaian yang dicita-citakan.
B. Prinsip-prinsip moral yang memadai,
antara lain:
1. Prinsip sikap baik kepada segala makhluk
Prinsip
ini merupakan prinsip yang paling utama daripada prinsip yang lain karena
prinsip ini mempunyai arti yang sangat besar di kehidupan manusia. Dalam
prinsip ini, “kita harus mendekati siapa saja dan apa saja yang dengan sikap
positif, dengan menghendaki yang baik bagi dia” (Magnis, 1987, hal
131),misalnya kebaikan. Dengan prinsip ini, kita tidak was-was bertemu dengan
orang baru, bahkan sering kita ditolong walaupun baru bertemu. Bersikap baik
inilah yang menjadi dasar semua norma moral. Prinsip ini tidak memperbolehkan
kita membunuh atau memperlakukan semena-mena siapapun, biarpun ia bersalah,
berbuat jahat, menggangu atau merugikan kita. Prinsip ini juga tidak
memperbolehkan kita merusak alam lingkungan dan membunuh dan menyiksa binatang
tanpa tujuan yang positif.
2. Prinsip keadilan
Prinsip
keadilan pada hakikatnya adalah dari kata dasanya, yaitu “adil yang artinya
memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya dan menuntut dari siapa
saja sesuai dengan kewajibannya” (Magnis 1982, hal 132). Karena pada hakikatnya
semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tentunya semua orang wajib
diperlakukan sama, dan mendapat keadilan yang sama pula. Disini artinya bahwa
prinsip ini menuntut kita agar tidak melanggar hak orang lain, dan selalu
bertindak, bersikap yang baik.
Prinsip
keadilan sering dirumuskan juga sebagai “kewajiban untuk memberikan perlakuan yang
sama terhadap semua orang yang berada dalam situasi yang sama” (Magis, 1987,
hal 132).jika situasinya sama kemudian diandaikan
hak atau kewajibannya juga sama. Jika situasinya berbeda, hak atau kewajibannya
berbeda pula, sehingga ada kemungkinan bagi dampak kebahagiaan/kesusahan yang
relatif sama.
3. Prinsip hormat terhadap diri sendiri
Prinsip
ini menekankan bahwa setiap manusia harus memperlakukan dirinya dengan hormat,
melakukan sesuatu yang bernilai pada dirinya. Kita wajib untuk menghormati
martabat kita sendiri. Pertama, kita tidak boleh membiarkan diri kita dipaksa
untuk melakukan sesuatu. Yang kedua, kita jangan membiarkan diri kita
terlantar.
Pertama
dituntut agar kita tidak membiarkan diri diperas, diperalat, diperbudak.
Perlakuan semacam itu tidak wajar untuk kedua belah pihak, maka yang
diperlakukan demikian jangan membiarkannya berlangsung begitu saja apabila ia
dapat melawan. Kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau menyerahkan
sesuatu tidak pernah wajar, karena berarti bahwa kehendak dan kebebasan
eksistensial kita dianggap sepi. Kita diperlakukan sama seperti batu atau
binatang. Hal itu juga berlaku apabila hubungan-hubungan pemerasan dan
perbudakan dilakukan atas nama cinta kasih, oleh orang yang dekat dengan kita,
seperti oleh orang tua atau suami. Kita berhak untuk menolak hubungan pemerasan,
paksaan yang tidak pantas.
Yang
kedua, kita jangan sampai membiarkan diri terlantar, kita mempunyai kewajiban
bukan hanya terhadap orang lain, melainkan juga terhadap diri kita sendiri.
Kita wajib untuk mengembangkan diri. Membiarkan diri terlantar berarti bahwa
kita menyia-nyiakan bakat-bakat dan kemampuan-kemampuan yang dipercayakan
kepada kita. Sekaligus kita dengan demikian menolak untuk memberikan sumbangan
kepada masyarakat yang boleh diharapkannya dari kita.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah
meninjau beberapa prinsip dasar yang secara diam-diam dianut oleh banyak orang
di masyarakat kita, dapat disimpulkan bahwa sebaiknya kita tidak cepat-cepat
mendasarkan tindakan kita pada segala sesuatu yang dikatakan pihak lain kepada
diri kita, sebelum meneliti baik-buruknya dan benar-salahnya. Pendapat orang
lain tidaklah selalu benar dan baik. Begitu pula pendapat umum/kelompok yang
sudah lazim diikuti orang juga tidak selalu baik atau benar. Oleh sebab itu,
kita perlu menelitinya terlebih dahulu secara cermat, agar kita tidak
terjerumus pada prinsip bertindak yang sebenarnya tidak baik atau tidak benar.
Selain
itu, kita merupakan manusia yang bebas, yaitu dimana kita bebas menentukan diri
sendiri, meski bebas dalam suara hati kita sadar bagaimana kita harus bertindak
di hadapan moral masyarakat yang dewasa ini semakin menyimpang, akhirnya juga
kita sendiri yang menentukan bagaimana tindakan yang akan kita ambil dan kita
sendirilah yang akan mempertanggung jawabkan tindakan kita. Nah sikap-sikap
yang dapat mengembangkan kekuatan moral kita dalam menghadapi moral masyarakat
itu dimulai dari kejujuran, kesediaan untuk bertanggung jawab, kemandirian
moral, keberanian moral, dan kerendahan hati yang didasari oleh ketiga prinsip
prinsip sikap baik, keadilan, dan hormat terhadap diri sendiri yang membantu
kita untuk menyadari apakah kewajiban dan tanggung jawab kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Wahana,
Paulus. (2004). Filsafat Moral:
Pembahasan Filosofis Terhadap Moralitas Tindakan Manusia. Yogyakarta.
Internet
Makalah Presentasi "Anak Tuna Netra"
Makalah Presentasi
Mata Kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (PDW 2420)
TUNANETRA
Oleh:
Melsaria
Permatasari (151134052)
Clara Endri Prasetiyani (151134087)
Johanes Dwi Kurniawan (151134184)
Ayuditya Widya Cahyani (151134217)
Program StudiPendidikan Guru
SekolahDasar
FakultasKeguruandanIlmuPendidikan
UniversitasSanata Dharma
Yogyakarta
2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Mata
sebagai salah satu komponen dalam panca indra manusia mempunyai fungsi yang sangat penting. Sebab setiap manusia beraktivitas selalu menggunakan indra penglihatannya.
Melalui indra penglihatan manusia mampu melakukan pengamatan terhadap lingkungan.
Melalui indra ini
pula sebagian besar informasi akan diterima untuk selanjutnya diteruskan ke otak sehingga timbul kesan/
persepsi dan pengertian terhadap rangsang tersebut. Dengan terganggunya indra penglihatan manusia akan kehilangan fungsi kemapan anvisualnya untuk mereka melihat peristiwa di lingkungannya.
B.
Rumusan Masalah
1. Siapakah penemu huruf Braile?
2. Apa pengertian tunanetra?
3. Bagaimanacaramengidentifikasianaktunanetra?
4. Apafaktor penyebab tunanetra?
5. Apaciri-ciri dan karakteristik tunanetra?
6. Apatipe-tipe tunanetra?
7. Bagaimanacarapendampingananak tunanetra?
8. Permainanapa
yang dapatdiberikankepada
tunanetra?
C. Tujuan
1. Mengetahui siapa penemu huruf braille.
2. Mengetahui pengertian tunanetra.
3. Mengetahui cara mengidentifikasi anak tunanetra.
4. Mengetahui faktor yang menyebabkan anak tunanetra
5. Mengetahui ciri-ciri dan karakteristik anak tunanetra
6. Mengetahui tipe-tipe anak tunanetra
7. Mengetahui cara pendampingan yang tepat untuk anak tunanetra.
8. Mengetahui permainan yang sesuai untuk anak tunanetra.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Penemu huruf Braile
Louis Braille
dilahirkan pada 4 Januari
1809 di Coupvray, sebuah kota kecil di dekat Paris, Prancis. Beliau orang yang pertama kali memperkenalkan kode atau huruf braille yang digunakan untuk para tunanetra agar dapat membaca.
B. Pengertian Tunanetra
Dalam bidang pendidikan anak luar biasa, anak dengan
gangguan penglihatan lebih akrab disebut anak tunanetra. Pengertian anak
tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu
melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
hidup sehari-hari terutama dalam belajar.
Jadi,
anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “low vision”, atau rabun adalah bagian
dari kelompok anak tunanetra.Dari uraian di atas, pengertian anak tunanetra
adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi
sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya
orang awas.
C. Cara Mengidentifikasi Anak Tunanetra
Umumnya
anak dengan gangguan penglihatan telah didiagnosis sebelum mereka masuk sekolah
atau segera setelah dilahirkan di rumah sakit. Anak-anak dengan ganguan penglihatan
ini dapat dapat diketahui dalam kondisi berikut:
·
Ketajaman
penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang dewasa.
·
Terjadi
kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
·
Posisi
mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.
·
Terjadi
kerusakan suasunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Selain
itu anak yang mengalami gangguan penglihatan biasanya terlihat:
·
Kikuk
·
Koordinasi
tangan dan mata kurang baik
·
Tulisan
tangan buruk
·
Kesulitan
melihat papan tulis
Dari kondisi-kondisi di atas, pada umumnya yang digunakan
sebagai patokan apakah seseorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah
berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya. Untuk mengetahui
ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai tes Snellen Card.
Perlu ditegaskan bahwa anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya
kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada
jarak 6 meter yang oleh awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.
4. Ciri-ciri dan karakteristik anak tunanetra
Ciri – ciri fisik pada pengidap tuna netra
1. Mata
nampaktidaksejajar
2. Lingkaranmatamerah,
kelopakmatabengkak, matamengeras
3. Terjadiradangataumataberair
4. Mata
seringmerah, membengkak, dansakit
Anak
tunanetra memiliki karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik, dan
kebribadian yang bervariasi. Hal ini sangat bergantung pada sejak kapan anak
mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa
usianya, serta bagaimana tingkat pendidikannya. Di bawah ini merupakan
penjelasan secara umum mengenai perkembangan karakteristik kognitif, sosial,
emosi, motorik, dan kebribadian:
a)
Perkembangan
kognitif
Secara umum,
perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan dengan
anak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitif tidak
saja erat kaitannya dengan kecerdasan atau kemampuan inteligensinya, tetapi
juga dengan kemampuan indera penglihatannya. Indra penglihatan ialah salah satu
inderera penting dalam menerima informasi yang datang dari luar dirinya.
Melalui indera ini pula sebagian besar rangsang atau informasi akan diterima
untuk selanjutnya diteruskan ke otak, sehingga timbul kesan atau persepsi dan
pengertian tertentu tehadap rangsang tersebut.
b)
Perkembangan
motorik
Perkembangan
motorik anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan dengan anak awas pada
umumnya. Kelambatan ini dikarenakan dalam perkembangan perilaku motorik
diperlukan adanya koordinasi fungsional antara neuromuscular system (system
persyarafan dan otot) dan fungsi psikis (kognitif, afektif, dan konatif), serta
kesempatan yang diberikan oleh lingkungan.
c)
Perkembangan
emosi
Perkembangan
emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan anak yang
awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan karena anak tunanetra memiliki
kemampuan yang terbatas dalam proses belajarnya. Kesulitan bagi anak tunanetra
yaitu ia tiddak mampu belajar secara visual tentang stimulus-stimulus apa saja
yang harus diberi respon serta respon-respon apa saja yang diberikan terhadap
stimulus-stimulus tersebut. Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin
terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi, yaitu keadaan dimana
anak tunanetra tersebut kurang kesempatan untuk menghayati pengalaman emosional
yang menyenangkan, seperti kasih saying, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan.
d)
Perkembangan
sosial
Perkembangan
sosial berarti dikuasainya seperangkat kemampuan anak bertingkah laku sesuai
dengan tuntutan masyarakat. Bagi anak tunanetra penguasaanseperangakat
kemampuan bertingkah laku tersebut tidaklah mudah. Dibandingkan dengan anak awas, anak
tunanetra relatif lebih banyak menghadapi maslah dalam perkembangan sosial.
Hambatan-hambatan tersebut terutama muncul sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi
lingkungan sosial yang lebih luas dan baru, perasaan rendah diri, malu, dan
sikap-sikap masyarakat yang sering kali tidak menguntungkan seperti penolakan,
penghinaan, dan tak acuh, ketidakjelasan tuntutan sosial, serta terbatasnya
kesempatan bagi anak untuk belajar pola-pola tingkah laku yang diterima,
merupakan kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan
sosialnya menjadi terhambat.
e)
Perkembangan
kebribadian
Kecenderungan
anak tunanetra relative lebih banyak yang mengalami gangguan kepribadian yang
dicirikan dengan introversi, neurotik, frustasi, dan rigiditas (kekakuan) mental
5.
Tipe-Tipe Tunanetra
Tipe tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu ;
1. Buta
Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsang
cahaya dari luar (visusnya= 0).
2. Low Vision
Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajaman
lebih dari 6/21, atau anak hanya mampu
membaca headline pada surat kabar.
6. Faktor-Faktor Penyebab Ketunanetraan
Sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sekarang ini sudah jarang atau
bahkan tidak lagi ditemukan anggapan bahwa ketunanetraan itu disebabkan oleh
kutukan Tuhan atau Dewa.
Secara ilmiah
ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor, apakah itu faktor
dalam diri anak (internal) ataupun faktor dari luar anak (eksternal). Hal-hal
yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan
keadaan bayi selama masih dalam kandungan. Kemungkinannya karena faktor gen
(sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat,
dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal diantaranya
faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya:
kecelakaan, terkena penyakit siphilis
yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat
melahirkan sehingga sistem persyarafannya rusak, kurang gizi atau vitamin,
terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta
peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus.
7. Pendampingan AnakTunanetra
Pendekatan baru untuk mengajar anak dengan hambatan penglihatan yakni pemberian latihan-latihan yang lebih banyak terhadap kemampuan. Misalnya menggunakan tongkat putih(white
cane) dikenal dengan sebutan hoover
cane agar dapat melakukan bepergian secara aman, mandiri, dan efektif. Kegiatan latihan ini dikenal dengan orientasi mobilitas atau mobility
training. Orientasi (orientation) diartikan sebagai kemampuan mengetahui posisi diri berkaitan dengan objek-objek
lain yang berada dalam suatu ruangan tertentu. Sedangkan mobilitas (mobility )diartikan sebagai kemampuan untuk bergerak dari satu tempat ketempat lain, objek ,atau lingkungan tertentu secara aman,
mandiri, dan efektif. (Ashman
& Elkins, 1994).
Menurut Lowenfeld (dalam Sugiamin1975) ada 3
prinsip dalam proses yang harus diperhatikan pendidikan bagi anak berkelainan indra penglihatan,
yaitu;
1. Pengalamankonkrit
Siswa dapat mengenali obyek melalui benda
yang dapat disentuh sehingga dapat mengetahui kualitas bentuk, ukuran, dan orientasi yang tidak dapat dipahami.
2. Kesamaanpengalaman
Agar mendapatkan pandangan yang menyeluruh siswa berkelainan penglihatan perlu diberi pengalaman yang sistematis melalui indra
orang lain.
3. Belajardenganbertindak
Siswa harus dijalin supaya aktif terlibat dalam proses pembelajaran.
Adapun beberapa kebutuhan
yang diperlukan dalam
proses pembelajaran paratunanetra antara lain:
a.
Bacaandantulisan Braille.
Huruf Braille adalah suatu sistem
yang menggunakan kode berupa titik-titik
yang ditonjolkan untuk menunjukkan huruf, angka, dan simbol-simbol lainnya.
b.Keyboarding.
Kemampuan menggunakan
keyboard merupakan cara
agar tunanetra dapat berkomunikasi dalam bentuk tulisan dengan
orang lain.
c.
Alatbantumenghitung.
Sempoa dan kalkulator menjadi alat bantu
yang penting bagi orang-orang
tunanetra.
d.
Optacon.
Mesin ini bias membuat penyandang tunanetra mengakses materi-materi
yang dulu tidak mungkin diperoleh,
kendalanya adalah harganya yang mahal.
e.
Mesinbaca Kurzweil.
Mesin ini dapat membaca buku yang tercetak hasil huruf-hurufnya dikeluarkan dalam bentuk suara.
f.
Buku bersuara
talking book
Telah menjadi alat pendidikan standar bagi penyandang tunanetra.
g.
Teknologi computer.
Kemajuan dalam teknologi computer memberikan dampak positif dalam pendidikan anak yang mengalami hambatan penglihatan.
7. Permainan
Untuk Anak Tunanetra
Blok Lego yang memiliki alfabet Braille dapat membantu anak-anak tunanetra belajar membaca. Lego
Braille ini berfungsi sebagai salah satu sarana pembelajaran bagi anak-anak tunanetra untuk membantu mereka mengintegrasikan lebih baik dengan visual, dan memperbanyak fasilitas pendukung pembelajaran untuk mereka.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tunanetra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang
mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Umumnya anak dengan
gangguan penglihatan telah didiagnosis sebelum mereka masuk sekolah atau segera
setelah dilahirkan di rumah sakit. Anak tunanetra memiliki karakteristik
kognitif, sosial, emosi, motorik, dan kebribadian yang bervariasi. Hal ini
sangat bergantung pada sejak kapan anak mengalami ketunanetraan, bagaimana
tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya, serta bagaimana tingkat
pendidikannya. Tipe tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam yaitu Buta dan Low Vision. Secara
ilmiah ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh faktor dalam diri anak
(internal) ataupun faktor dari luar anak (eksternal). Proses
belajar mengajar pada anak yang memiliki hambatan penglihatan atau tunanetra
diperlukan adanya komunikasi yang baik serta latihan ketrampilan guna
memberdayakan indera lain selain indera penglihatan. Artinya guru harus menggunakan
indra pendengaran, pengecap dan pembau saat menyampaikan pelajaran
Daftar Pustaka:
Sumber
Sutjihati
Somantri, 2006, Psikologi Anak Luar
Biasa. Bandung: PT. Refika Aditama.
Thompson,
Jenny.(2014). Memahami Anak Berkebutuhan
Khusus. Jakarta: Penerbit Esensi.
Web:
Langganan:
Postingan (Atom)